Tugas ke 3
HUKUM DI INDONESIA
Kondisi Negara Hukum di Indonesia kita saat ini sangat memprihatinkan. Hukum diperlukan untuk kebijakan-kebijakan negara dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing), hukum juga harus difungsikan sebagai roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara.
Namun dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan (policy making) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan (policy executing), masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat diselesaikan dengan baik selama 11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma, perubahan-perubahan telah terjadi mulai dari norma-norma dasar dalam konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya dapat dikatakan bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya sebagaimana diwarisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutnya maka keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam berbagai peraturan peundang-undangan harus pula di ubah dan diperbarui.
Sebenarnya, upaya pembaruan hukum itu sendiri tentu dapat dikatakan sudah berjalan selama 11 tahun terakhir ini. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa : Pertama, perubahan-perubahan tersebut cenderung dilakukan secara cicilan sepotong-sepotong tanpa peta jalan (road-map) yang jelas. Akibatnya, perubahan sistem norma hukum kita selama 11 tahun masa reformasi ini belum menghasilkan kinerja Negara Hukum yang kita diidealkan. Kedua, pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan baru telah banyak menghasilkan norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan tetapi norma-norma baru itu belum secara cepat tersosialisasikan secara umum sehingga pelaksanaanya dilapangan banyak menghadapi kendal dan kegagalan. Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibatnya sudah terbentuknya norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi dijadikan rujukan dalam pratik.
Ketiga, dimasa reformasi ini banyak sekali lembaga-lembaga baru yang kita bentuk untuk maksud yang mulia, yaitu agar kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sudah berubah sebagai masyarakat demokratis dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara. pembentukan lembaga-lembaga baru itu dilakukan sekaligus dengan mengubah fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Akan tetapi dalam kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali lembaga-lembaga baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945, sementara lembaga-lembaga lama sudah lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsi yang diambil alih oleh lembaga baru. Akibatnya, timbul gejala tumpang tindih akibat banyaknya lembaga yang menangani satu fungsi yang sama, sementara di pihak lain banyak fungsi yang ada lembaga yang menanganinya sama sekali. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sesudah 11 tahun masa reformasi ini, kita menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan anomi mencerminkan keadaan seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous), sedangkan keadaan anomali menegaskan adanya kekacauan struktural dan fungsional dalam hubungan antara lembaga dan badan-badan penyelenggara fungsi kekuasaan negara.
Dalam konteks pembuatan aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja lembaga-lembaga legislasi dan regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kinerjanya sebagian terbesar masih belum profesional dan mengarah kepada upaya perbaikan sistem hukum kita secara keseluruhan. Baik DPR, DPD, DPRD, biro-biro hukum berbagai instansi pemerintahan masih bekerja secara serabut dan tanpa arah yang jelas, melainkan hanya berdasarkan kebutuhan dadakan dan didasarkan atas pesanan atau pun perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di bidang pelaksanaan kebijakan (policy executing), yang menentukan justru adalah atasan atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi penerapan hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara kuat dan masih sangat tergantung kepada keteladanan pimpinan.
Begitu pula dalam proses penegakan hukum(law enforcement), aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan aparatur pemasyarakatan masih kerja dengan kultur kerja yang tradisional dan cenderung primitif. Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan Chandra memberi tahu kita semua mengenai kebrobokan dunia penegak hukum kita. Dari kasus ini jelas tergambar betapa buruknya lembaga penyidik di Negara kita. Sebaliknya, liat pula kasus terungkapnya kasus istana dalam penjara yang melibatkan Artalyta Suryani yang menikmati kamar tidur mewah yang jelas tidak adil bagi narapidana lain yang tidak berkecukupan. Dengan perkataan lain, kita menghadapi banyak masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke lembaga pemasyarakatan.
Mengenai kasus Bibit dan Candra, misalnya telah menyedot perhatian publik yang sangat luas selama berbulan-bulan. Namun, solusi yang diambil kemudian adalah penghentian perkaranya oleh Kejaksaan atas tekanan publik. Solusi demikian juga mencatatkan preseden yang sangat buruk dalam penegakan hukum yang tunduk kepada tekanan politik. Sekali aparat penegak hukum tahluk kepada tekanan politik yang datang dari bawah (civil society), maka pada saat yang lain jangan salahkan jika ada orang yang menilai bahwa aparat yang sama akan tunduk dan tahluk pula kepada tekanan politik (state) yang datang dari atas atau pun dari samping (market). Namun demikian, semua sudah menjadi bubur, apa boleh buat, kasus Bibit dan Chandra sudah berakhir, dan kita harus siap menutup buku mengenai hal ini. Akan tetapi, dari kasus Bibit dan Chandra, kasus Istana Artalyta di Lp, serta kasus-kasus lainnya, seperti kasus Bank Century dan sebagainya, kita dapat berkaca mengenai bobroknya sistem penegakan hukum di Negara kita. Jalan yang tersedia dihadapan kita hanya satu, yaitu bahwa kita harus melangkah ke depan untuk memperbaiki sistem hukum dan peradilan di tanah air kita sebagaimana mestinya dengan cetak biru dan peta jalan (road-map) yang jelas berdasarkan UUD 1945.
Untuk itu, kita dapat mengusulkan kiranya sistem peradilan kita dievaluasi dan di adakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan pengadilan dapat ditingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjamin keadilan daripada yang ada sekarang. Misalnya, kita mesti memperbaiki kondisi-kondisi untuk menjamin independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem peradilan yang menjamin keputusan, seperti dengan menerapkan kebijakan pembatasan perkara di Mahkamah Agung sambil memperkuat kedudukan dan peranan Pengadilan Tinggi di setiap ibu kota provinsi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, di lingkungan peradilan, sebaiknya segera diadakannya sistem dalam penanganan perkara, tidak lagi sistem majelis seperti yang dipratikkan selama ini. Dengan sistem itu, perkara-perkara (i) pidana, (ii) perdata umum, (iii) bisnis, (iv) agama, (v) tata usaha negara, dan (vi) militer dapat ditangani secara profesional oleh hakim yang memang menguasai di bidang hukum terkait.
Demikian pula dengan aparat dan aparatur penyelidikan, penyidik, penuntutan, pembelaan, dan pemasyarakatan juga perlu segera direformasi secara mendasar. Polisi, sejak berpisah dari TNI (ABRI) tentu harus mengubah wataknya menjadi organisasi sipil. Pendekatannya jangan lagi militeristik. Polisi adalah pengayom masyarakat bukan bermusuh dengan masyarakat. kejaksaan dan lembaga-lembaga penuntut khusus lain, yaitu KPK juga harus bertindak profesional sebagai lembaga penegak keadilan, bukan sekedar merupakan lembaga penegak peraturan.
Yang tidak kalah peliknya juga adalah profesi advokat yang masih jauh dari idealitas profesionalnya sebagai penegak hukum. Apalagi sampai sekarang, persatuan para advokat dalam wadah tunggal sampai sekarang juga terus menghadapi kendala yang advokat sendiri tidak kunjung dapat diselesaikan sendiri. Padahal para advokat menginginkan watak independensi yang kokoh bagi kedududkan profesional mereka. Namun, jika para advokat justru tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah internal mereka, apa alasannya untuk mencegah agar fungsi-fungsi Negara yang relevan ikut berperan, jika kepentingan rakyat dan negara justru menuntut berfungsinya organisasi tunggal para advokat yang oleh UU advokat telah dikokohkan sebagai aparat penegak hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar